Jakarta – Dalam upaya menegaskan kewenangan pemerintah daerah dalam penetapan tanah ulayat berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, menggelar Rapat Koordinasi Pengembangan Sistem Data dan Informasi Tanah Adat yang dilaksanakan secara hybrid (melalui tatap muka dan aplikasi zoom meeting) pada Kamis (12/9/2024) di Grand G7 Hotel, Pasar Baru, Jakarta.
Plh. Direktur Jendral Bina Administrasi Kewilayahan, Amran, menyampaikan bahwa saat ini Kementerian Dalam Negeri berkolaborasi dengan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka percepatan sertifikasi tanah ulayat milik masyarakat hukum adat (MHA). Hal tersebut dilakukan agar tanah ulayat tidak hilang dan terhindar dari sengketa atau konflik pada masa mendatang. “Dengan adanya pertukaran informasi dan pengalaman penanganan masalah tanah ulayat oleh para peserta rapat, diharapkan permasalahan atau hambatan dalam pendaftaran tanah ulayat dapat diselesaikan secara kolaboratif,” ungkap Amran.
“Perlu adanya sinkronisasi peraturan terkait dengan penetapan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat, sehingga tidak terjadi pertentangan antara peraturan satu dan lainnya,” tegas Nurbowo Edy Subagio, Analis Kebijakan Ahli Madya pada Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan. Nurbowo menambahkan bahwa perlu adanya upaya agar sertifikat tanah ulayat hanya dalam bentuk kepemilikan secara komunal dan tidak dimiliki secara perorangan agar tanah ulayat tersebut tidak hilang diperjualbelikan kedepannya.
Setyo Anggraini, Kasubdit Tanah Ulayat dan Hak Komunal Kementerian ATR/BPN menyampaikan manfaat yang diperoleh MHA dari pendaftaran tanah ulayat adalah bentuk pengakuan konkrit dari pemerintah atas keberadaan MHA, Memperkuat posisi MHA apabila terjadi permasalahan di kemudian hari, Mencegah hilangnya tanah ulayat (privat), dan Melindungi dan mencegah terjadinya sengketa, konflik, maupun perkara (karena Hak Pengelolaan (HPL) tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, HPL tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan HPL hanya dapat dilepaskan dalam hal dilepaskan untuk kepentingan umum dengan persetujuan dari MHA).
“Saat ini, MHA di beberapa daerah banyak ditunggangi oleh pihak lain yang bukan merupakan MHA, hal tersebut diketahui dari banyaknya nama-nama pewaris tanah ulayat yang bukan merupakan bagian dari suku MHA di daerah tsb,” ungkap Heru Setiyono, Kasubdit Penanganan Konflik Kelompok Masyarakat dan Tanah Ulayat Kementerian ATR/BPN. Heru juga menambahkan bahwa konflik-konflik HGU yang terjadi antara pengusaha/BUMN dengan masyarakat juga banyak terjadi di tanah ulayat dan penanganannya memerlukan waktu yang sangat panjang. Hal tersebut menguatkan bahwa pendaftaran tanah ulayat adalah suatu keharusan agar dapat melindungi keberadaan MHA.
Kegiatan ini dihadiri oleh Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Provinsi terseleksi berdasarkan keberadaan masyarakat hukum adat (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB, Papua, dan Papua Barat).
Seluruh peserta dan pembicara sepakat bahwa Isu pertanahan terkait dengan permasalahan tanah ulayat dan masyarakat hukum adat merupakan hal yang bersifat mendesak, sehingga akselerasi percepatan pensertifikatan tanah ulayat masyarakat Hukum Adat menjadi hal yang sangat penting dalam rangka melindungi keberadaan MHA. (!)